Tuntutan untuk terus produktif menggempur kita setiap hari. Jalan hidup kita adalah melakukan sebanyak mungkin hal yang bisa dilakukan dengan secepat mungkin. Bermalas-malasan adalah sebuah dosa yang sepatutnya dihindari. Semestinya kita lebih giat mengeksplorasi hal-hal baru karena hidup cuma sekali.

Sosiologis asal German, Gerharld Schulze mengatakan tuntutan ini telah melekat dalam budaya sosial sehari-hari. Ia memberikan istilah experience societies untuk masyarakat modern yang menggantungkan harapan dan kebahagiaannya dalam apa yang disebut sebagai pengalaman.

shutterstock.com

Padahal, kita tidak bisa melahap semua informasi yang tak berhenti berseliweran di gawai canggih kita. Kita bahkan tak punya cukup waktu untuk membaca buku dengan khidmat. Dalam mempelajari hal baru, kita membutuhkan keberanian besar untuk melawan rasa bodoh sebab begitu sulit menguasai keahlian baru dalam waktu singkat.

Tak apa, toh, lebih baik kita melakukan sesuatu yang mungkin kita sesali daripada menyesal karena tidak melakukannya.

shutterstock.com

Pola pikir ini kemudian membawa petaka, mengundang depresi dan kecemasan berlebih pada orang yang tidak berhasil memenuhi ekspektasi tersebut. Gejala ketakutan ini populer dibahas dengan sebutan FOMO (Fear of Missing Out).

Menurut studi Motivational, Emotion, and Behavioral Correlates of Fear of Missing Out garapan para peneliti psikologi di University of Essex, FOMO adalah perasaan cemas yang melingkupi seseorang akibat merasa tertinggal dari hal-hal yang baru terjadi.

Temuan dari studi tersebut mendapati bahwa pergaulan, tingkat kepuasan hidup dan kepercayaan terhadap kompetensi diri yang rendah mendorong seseorang untuk lebih mudah terkena FOMO.

shutterstock.com

Gangguan ini kian relevan di era Internet di mana kondisi yang memperlihatkan ketidakberdayaan kita tak berhenti mengonsumsi apa yang terpampang di media sosial.

Eksistensi digital membuat kita terobsesi dengan banyak hal. Kita tak ingin ketinggalan berbagai postingan keributan politik, meme-meme usil yang menggelitik, tempat nongkrong yang sedang hits, dan foto-foto liburan teman yang membuat iri.

shutterstock.com

Fenomena keterikatan terhadap gawai dan media sosial juga terjadi dalam lingkungan pekerjaan. Survey yang dilakukan LinkedIn melaporkan 70 persen dari pekerja memiliki kecenderungan untuk terus terkoneksi dengan pekerjaan mereka di hari libur.

Mereka tak bisa berhenti mengecek aplikasi percakapan, email, dan media sosial guna memantau perkembangan pekerjaan mereka. Kebiasaan ini membuat kita seakan tidak bisa menikmati sedikitpun momen-momen kecil yang sepenuhnya kita miliki.

shutterstock.com

Namun, keresahan dan adiksi yang disebabkan FOMO bukan berarti tak memiliki obat. Joy of Missing Out (JOMO) menjadi antitesis yang mengajak kita menemukan esensi hidup yang lebih berarti.

Jika FOMO membuat kita merasa seperti dikejar-kejar tanpa henti oleh tren, ekspektasi, dan perbandingan hidup dengan orang lain, JOMO memperbolehkan kita untuk melangkah lebih pelan, menyelami ketentraman yang diperoleh dengan memutuskan diri dari segala koneksi digital. Kita bahkan diperbolehkan untuk mereguk kenikmatan dengan tidak melakukan apa-apa.

shutterstock.com

Experience societies yang diistilahkan Schulze menempatkan pengalaman sebagai sumber kesenangan. Dalam JOMO, kesenangan justru diperoleh dari perasaan ketertinggalan dan kegiatan tidak produktif. Saat kita hadir sepenuhnya menikmati sebuah momen tanpa terikat dengan hal-hal di luar diri sendiri, kita memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk bisa fokus mengenal kebutuhan yang esensial bagi diri.

Dalam Psychology Today, terapis depresi klinis Kristen Fuller, M.D, menjelaskan cara praktis untuk menerapkan JOMO dalam kehidupan sehari-hari. Selain menyempatkan waktu untuk refleksi, JOMO juga menekankan betapa pentingnya melatih diri untuk mengatakan “tidak” pada sesuatu yang di luar daftar prioritas kita.

shutterstock.com

Terkait penghindaran diri dari apa yang terjadi di sekeliling kita, Fuller pun meluruskan lebih jauh. JOMO sebenarnya merupakan praktik pengendalian diri terhadap obsesi berlebih. JOMO tak menuntut kita untuk seratus persen terlepas dari koneksi media sosial, melainkan kita dapat menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial setiap harinya.

Selain itu, kita juga bisa memilah kembali informasi yang masuk ke lini masa media sosial. Kita berhak untuk berhenti mengikuti akun-akun yang dapat berpotensi memicu gangguan FOMO.

shutterstock.com

Rasa bersalah kerap kali melingkupi saat menerapkan JOMO. Bagi Fuller, ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.

Karena memutus koneksi dari pertemanan superfisial di media sosial atau ketinggalan momen-momen konyol yang jadi perdebatan di dunia maya lebih baik ketimbang memutuskan koneksi dan kehilangan waktu dengan orang-orang terdekat. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga juga menjadi bagian dari praktik JOMO.

shutterstock.com

JOMO pelan-pelan menggantikan ketakutan akan ketertinggalan dan perasaan bersalah dengan kebebasan. Saat kita merasa terbebas dari segala ekspektasi, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari orang lain, maka kita mulai bisa menyingkirkan perasaan negatif dan mengubah pandangan kita terhadap tuntutan produktifitas yang selama ini menghantui.

Manusia tidak selamanya ditentukan oleh apa yang dia perbuat, apa yang tidak dia kerjakan juga membentuk siapa dirinya. Lebih dari sekedar gaya hidup, JOMO sebaiknya diterapkan sebagai seni berkehidupan yang menuntun kita memperoleh ketenangan diri.

Kamu sedang mencari furnitur baru untuk hunianmu? Dekoruma adalah solusi yang tepat! Di Dekoruma, kamu bisa menemukan aneka furnitur sesuai kebutuhan ruangan. Misalnya, untuk kamar tidur, Dekoruma jual lemari pakaian, tempat tidur, dan side table.

Tak hanya itu, Dekoruma juga menyediakan aneka jenis kasur yang bisa disesuaikan dengan kebutuhanmu. Mulai dari spring bed The Luxe, King Koil, Comforta, dan Guhdo tersedia dalam banyak ukuran dan tingkat keempukkan. Tunggu apa lagi? Yuk, segera lengkapi kebutuhan rumahmu bersama Dekoruma!